Partisipasi politik masyarakat (pemilih) merupakan aspek penting dalam sebuah tatanan negara demokrasi. Partisipasi politik berpengaruh terhadap legitimasi oleh masyarakat terhadap jalannya suatu pemerintahan. Setiap masyarakat memiliki preferensi dan kepentingan masing-masing untuk menentukan pilihan mereka dalam pemilu. Partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu dapat dipandang sebagai evaluasi dan kontrol masyarakat terhadap pemimpin atau pemerintahan. Oleh karena itu upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat harus didasarkan pada analisis dan argumentasi yang kuat. Hal ini disebabkan adanya kebutuhan untuk mewujudkan langkah strategis dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas partisipasi politik masyarakat dalam pemilu dan penyempurnaan sistem pemilu yang lebih baik. Itu artinya argumentasi dan analisis yang lahir mesti berbasis pada, pertama, metodologi atau kerangka pikir yang tepat untuk memahami dinamika partisipasi politik, serta kedua, didasari dengan kepekaan yang kuat terhadap dinamika dinamika yang berkembang dalam wilayah ekonomi, administrasi, politik, serta sosial dan kultural. Namun dalam pelaksanaannya, upaya peningkatan partisipasi politik masyarakat di Indonesia, syarat dengan praktek Money politik yang dikemas dengan berbagai rupa dan bentuk. Karena sudah melekatnya praktek money politik ini, seolah tidak ada ruang untuk memberantasnya. Money politik dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang lain dengan memberikan imbalan tertentu. Ada juga yang mengartikan Money politik sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu bisa terjadi dalam jangkauan yang luas, dari tingkat paling kecil yaitu pemilihan kepala desa hingga pemilihan umum. Rendahnya Pengetahuan Salah satu penyebab terjadinya praktek money politik adalah karena rendahnya pengetahuan masyarakat tentang politik. Tidak semua orang tahu apa itu politik, bagaimana bentuknya, serta apa yang ditimbulkan dari politik. Itu semua bisa disebabkan karena tidak ada pembelajaran tentang politik di sekolah-sekolah, ataupun masyarakatnya sendiri yang memang acuh terhadap politik di Indonesia. Sehingga ketika pesta politik berlangsung, masyarakat tersebut akan bersikap tidak mengenal partai tidak masalah, tidak tahu calon anggota legislatif tidak masalah, bahkan mungkin tidak ikut pemilu pun tidak masalah. Kondisi seperti ini menyebabkan maraknya praktek money politik. Masyarakat yang acuh dengan pemilu dengan mudah menerima pemberian dari para peserta pemilu. Praktek money politik pun dianggap tidak masalah bagi mereka. Mereka tidak akan berpikir jauh ke depan bahwa uang yang diberikan itu suatu saat akan "ditarik" kembali oleh para calon kandidat yang nantinya terpilih. Mereka tidak menyadari adanya permainan politik yang sebenarnya justru merugikan diri mereka sendiri. Pengaruh uang dalam dunia politik memberikan risiko yang sangat rawan. Setidaknya office of democracy and govermance (2003) mencatat ada 4 macam potensi risiko yang kemungkinan besar akan timbul. Pertama adalah "uneven playing field". Dalam konteks ini uang memberikan dampak pada kompetisi yang tidak sehat antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Sportivitas permainan politik menjadi kian langka manakala uang diperankan oleh sebagian kelompok sehingga kondisi tersebut berdampak pada keterbatasan ruang gerak bagi kelompok yang lain yang tidak mempunyai cukup uang. Kedua adalah "unequal access to the office". Kondisi ini mengisyaratkan bahwa uang telah menciptakan kondisi diskriminatif terhadap politik. Hal ini terjadi sebab kekuasaan hanya dimonopoli oleh segelintir orang yang mempunyai kontribusi uang sangat besar. Ketiga adalah "co-opted politicians". Uang menciptakan relasi yang tidak seimbang antara pemerintah (sebagai pihak yang menerima uang) dan donatur (pihak yang memberi uang). Ironisnya, pemerintah akan berada pada posisi yang lemah. Kondisi demikian akan dikendalikan oleh mereka yang telah menyuntikkan dananya. Mereka akan dengan mudah melakukan intervensi terhadap para birokrat dan politisi sehingga roda pemerintahan tidak lagi independen. Keempat adalah "tainted politics". Uang berisiko terhadap lahirnya sistem pemerintahan yang korup dan mengesampingkan eksistensi hukum. Pada konteks ini roda pemerintahan bisa berjalan, namun demikian wibawa pemerintah serta supremasi hukum menjadi barang langka. Membangun ideologi "Benci money politik" Strategi ini merupakan modal awal sekaligus langkah utama yang diperlukan untuk mencegah money politik. kebencian sosial terhadap money politik tersebut harus merata ke semua lapisan. Ini perlu dilakukan untuk menghindari meluasnya sindrom criminaloid pada pelaku money politik, yaitu menikmati kekebalan untuk tidak dicela karena dipandang sebagai orang kuat, memiliki posisi “terhormat”, kelas berdasi, dan punya hubungan khusus dengan kekuasaan. Masyarakat harus memahami bahwa praktek money politik dapat memberi dampak negatif terhadap demokrasi Indonesia, menimbulkan situasi politik yang tidak stabil, dan menghilangkan kesempatan munculnya pemimpin yang berkualitas. Masyarakat juga perlu mengingat bahwa money politik merupakan tindakan melawan hukum, berdasarkan Undang-undang No 10 tahun 2016, pasal 187A ayat 1 dan 2. Membiarkan apatisme masyarakat terhadap kejahatan money politik, tidak hanya akan mempersulit kerja aparat penegak hukum, tetapi juga dapat mempersubur kejahatan itu sendiri. Sudah barang tentu untuk keperluan sosialisasi "Benci money politik" terhadap masyarakat secara masif, maka perlu dibangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, pers, kaum alim ulama, civitas akademika, lembaga swadaya masyarakat dan kelompok civil society lainnya. Penulis : Fikri Mubarak, S.Sos.I (Wasekjen Gerakan Masyarakat Independen Indonesia ; GEMINI)