JIKA KOLEKTOR menyimpan barang-barang antik, itu sudah biasa. Biasanya para kolektor punya kemampuan finansial cukup hingga mampu menjadi kolektor. Tapi beda dengan keluarga Ahmada Putra Meliala (49), warga Desa Ujung Bandar, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Di rumah kecil sederhana miliknya, tersimpan puluhan alat-alat perang dan barang antik yang usianya hingga 500 tahun. Barang-barang antik dan langka ini, mereka simpan di ruang tamu yang mereka sebut Museum Sembiring Meliala Tanjungnguda. Sejumlah perlengkapan perang di masa itu, sekitar tahun 628 Masehi mereka simpan dengan cara seadanya, karena keluarga ini bukan keluarga berada. Ada beberapa jenis pedang yang ratusan tahun lalu digunakan tantara Portugis, pedang buatan Arab, tombak dan tameng pertahanan yang beratnya 5 kilogram, sejumlah keris hingga guci dan keramik yang usianya sudah 500 tahun lebih. Ada Lima Marga dalam Suku Karo Yakni Karo-Karo, Ginting,Tarigan, Sembiring dan Perangin-Angin. Sembiring Meliala/Milala merupakan salah satu cabang(sub-) merga dari merga Sembiring (salah satu dari lima induk merga Karo). Sembiring Meliala(Milala/Maliala) masuk dalam kelompok Sembiring Si La Man Biang (Sembiring yang tidak memakan anjing) dan juga masuk dalam kelompok Singombak (jika meninggal jasadnya dibakar dan abunya dihanyutkan). Tak heran, jika sebagian besar marga Sembiring masuk dalam agama Islam. Dalam tradisi lisan Suku Karo dikatakan, Sembiring Meliala ini berasal dari sebuah negeri di Selatan India yang bernama Malayalam dan nenek moyang mereka bernama Pagyth Malayalam (Pagit Meliala) yang seorang panglima besar memimpin ekspedisi mengemban misi penaklukan negeri-negeri di daratan Sumatera, dan diperkirakan masuknya kaum Meliala ini ke daratan Sumatera dari dua jalur dan priode, yakni: Teluk Haru dan Teluk Barus. Keluarga Sembiring Meliala Tajunguda, dikenal sebagai kaum kesatria Meliala. “Dulu, katanya kakek kami adalah Panglima Kerajaan yang masuk dalam Kerajaan Haru. Kami tinggal di tepi sungai Sungai, bentuknya wilayahnya menjorok, itu kenapa Namanya Tanjungnguda,”kata Putra Meliala yang biasa dipanggil Nampat. Tidak Dijual Sejarah dan lukisan kakek mereka terlihat dipajangkan berukuran besar di dinding rumah. 500 tahun lalu, tiga bersaudara turun gunung, satu orang meninggal di perjalanan, yang tengah tinggal di kawasan Ujung Bandar yang masuk Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat. Dan yang bungsu tinggal di Kecamatan Kelesai dan diangkat menjadi Panglima Perang Kerajaan Selesai. Itu kenapa, keluarga Sembiring Meliala ini akhirnya memiliki harta tak ternilai harganya. Pedang terbuat dari besi keluli dan biasanya digunakan tentara Portugis dipajangkan di lemari kayu buatan sendiri. Di sebelahnya pedang buatan jazirah Arab yang dulunya dikhususkan untuk prajurit Kerajaan Haru dan sejumlah parang Panjang dengan design yang sangat unik, termasuk ukiran pisau tumbuk lada khas Karo yang sangat ditakuti di zaman itu. Sejumlah tombak-tombak Panjang yang tidak diketahui asal pembuatannya juga ada. Selain alat perang, keluarga ini juga menyimpan artefak yang usianya diprediksikan di atas 500 tahun, seperti guci, keramik, berbagai Pernak-Pernik dengan Design Khas Tiongkok Abad Ke 14. Sayang, karena kurang pengetahuan dan tidak ada anggaran, seluruh barang-barang langka ini terlihat kurang perawatan, berdebu dan tersimpan apa adanya. “Dulu, jumlahnya tiga kali lipat. Pernah dipinjam Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk pembukaan Pekan Raya Sumatera Utara pertama kali, tapi waktu dikembalikan banyak yang hilang. Mau bilang apa, kami tak bisa meributkannya,” jelas Nempat dengan wajah sedih. Usaha Nempat dan keluarga untuk tetap menjaga benda-benda dan artefak ini ditengah kesulitan keuangan mereka, bukanlah tanpa sebab. “Dulunya, nggak terurus barang-barang ini karena tak bisa kami mempergunakannya. Lalu saya sakit, kata dokter saya harus operasi karena penyakit itu harus diangkat. Saya panik minta ampun, stress, itulah datang Guru Iwan Purba. Dia melihat dengan mata bathinnya, saya diminta mengurus semua peninggalan nenek moyang saya dan ziarah ke kubur, Alhamdulillah saya tak perlu dioperasi dan jadi sembuh. Jadi, saya urus peninggalan leluhur ini dan kami jadikan museum keluarga,”tambah Nempat dan berharap pemerintah peduli atas upaya ini. Nilai semua peninggalan sejarah yang dimiliki Nempat bukanlah sedikit. Dalam data harga para kolektor Singapura, pedang-pedang dengan usia ratusan tahun bisa mencapai ratusan juta rupiah. Bahkan guci-guci berharga itu nilainya puluhan juta rupiah. “Kami tidak akan menjualnya, karena ini janji saya kepada leluhur. Lebih penting kesehatan keluarga dan ini adalah sejarah keluarga kami, tapi kami berharap pemerintah maulah membantu kami supaya bisa membuat tempat penyimpanannya lebih baik, karena kami tak punya cukup uang untuk itu,”pungkas Nempat. Alat-alat perang ini menjadi bukti sejarah Kerajaan Haru-Karo yang lokasinya masih menjadi tanda tanya Arkeolog. Meski tak diketahui letaknya bahkan disebut hilang, tapi Kerajaan Haru memang ada dan tercatat di sejarah karena Kerajaan Haru pernah berperang dengan Kerajaan Majapahit, Sriwijaya, Johor, Malaka dan Kerajaan Aceh. Nempat juga berharap seluruh marga Sembiring Meliala yang kini tersebar di berbagai daerah peduli atas nasib peninggalan sejarah keluarga besar mereka. (Laporan Yose Piliang)